My Opinion About MP3EI

Tinjauan Kritis Terhadap Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia  Agar Menjadi Solusi Untuk Memecahkan Kemiskinan

Oleh : Illinia Ayudhia Riyadi (H14080003)

Pada tanggal 21 Februari 2011 yang lalu, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memperkenalkan suatu rencana pembangunan ekonomi Indonesia yang dikenal dengan nama “Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia”. Rencana ini mengedepankan berbagai program yang menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur untuk memperlancar distribusi barang dan jasa serta menghubungkan antara daerah pusat pertumbuhan yang satu dengan lainnya. Selain itu, master plan ini juga mencita-citakan pembentukan koridor ekonomi Indonesia, yakni koridor Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, dimana masing-masing koridor tersebut memusatkan perhatian pada suatu kegiatan ekonomi tertentu secara komprehensif. Menurut skenario ekonomi yang dipaparkan dalam master plan ini, bila pembangunan infrastruktur diwujudkan dalam mendukung pembangunan koridor ekonomi Indonesia, maka akan terjadi peningkatan GDP berkali-kali lipat sehingga tujuan mencapai pertumbuhan ekonomi yang signifikan dapat terwujud dengan baik.
Berbagai kegiatan maupun program yang direncanakan dalam master plan ini memerlukan dana dalam jumlah yang begitu besar. Dalam upaya memenuhi kebutuhan akan dana tersebut, maka agenda dalam master plan ini juga mengisyaratkan adanya kesempatan yang seluas-luasnya bagi investor asing maupun domestik agar bersama-sama dengan pihak pemerintah untuk membiayai berbagai program pembangunan infrastruktur yang dicanangkan sebagai manifestasi atas perwujudan pembangunan koridor ekonomi Indonesia. Peran investor asing sebagai salah satu sumber penyedia dana patut diwaspadai secara seksama. Memang, kita tidak dapat mengenyampingkan peran investor asing sebagai salah satu sumber utama penyedia dana mengingat anggaran yang diperlukan sangat besar untuk membangun berbagai proyek infrastruktur yang direncanakan. Namun, adanya peran investor asing dalam pembiayaan master plan ini memungkinkan terjadinya intervensi dari pihak eksternal terhadap proses berjalannya pembangunan di Indonesia. Intervensi pihak eksternal itu mungkin terjadi melalui tangan-tangan pihak komprador, yakni elit-elit pribumi tertentu yang memiliki ketergantungan terhadap pihak asing (terutama ketergantungan secara finansial) sehingga lebih mengedepankan kepentingan pihak asing untuk memperoleh keuntungan di dalam negeri. Adanya kaum komprador ini tentu saja sangatlah merugikan karena mereka memiliki tujuan untuk melestarikan keterbelakangan ekonomi yang terjadi di dalam negeri. Berbagai kebijakan yang dibentuk oleh para kaum komprador tersebut semata-amat dibuat hanya untuk memuluskan berbagai keinginan pihak asing dalam upaya mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di dalam negeri. Dengan demikian, sebenarnya master plan yang direncanakan tersebut justru berpotensi menimbulkan suatu bentuk neoliberalisme baru yang mengedepankan kepentingan para pemilik modal, dalam hal ini para investor asing. Kondisi ini mirip dengan situasi yang terjadi di masa rezim orde baru lalu dengan menitikberatkan pada peran investor asing sebagai sumber penyedia dana untuk pengembangan mengembangkan industri substitusi impor hingga akhirnya berujung pada krisis moneter tahun 1998 yang menghantam fundamental ekonomi Indonesia.
Selain adanya keterlibatan pihak asing yang begitu besar, koreksi terhadap master plan ini juga terkait dengan visi dan misi yang tercatum di dalamnya. Visi dan misi yang dirumuskan terlalu mengejar terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa adanya langkah konkret yang tepat dan efektif mengenai prosedur dalam hal pendistribusian hasil pertumbuhan tersebut kepada seluruh rakyat Indonesia. Padahal, distribusi atas hasil pertumbuhan ekonomi merupakan suatu hal yang paling penting untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkeadilan sosial secara merata. Dengan kata lain, master plan ini hanya mengejar peningkatan fenomena kuantitatif tanpa mempertimbangkan pentingnya perbaikan fenomena kualitatif seperti peningkatan taraf hidup masyarakat secara luas.
Hal lain yang perlu dikoreksi dengan cermat yaitu terkait dengan substansi yang terkandung dalam master plan ini. Adapun substansi dari perwujudan master plan ini adalah pembangunan infrastuktur baik berupa pelabuhan, rel kereta, jalan dan pembangkit listrik yang ditujukan untuk menopang berbagai kegiatan ekonomi di dalam koridor ekonomi Indonesia. Memang, pembangunan infrastruktur merupakan salah satu syarat yang penting untuk meningkatkan kelancaran distribusi barang dan jasa antar daerah di Indonesia. Namun, perlu adanya suatu kajian lebih lanjut untuk menganalisis seberapa besar multiplier effect yang mungkin dapat dirasakan oleh masyarakat miskin atas pembangunan infrastruktur tersebut. Hal ini penting dilakukan karena terdapat indikasi bahwa pembangunan infrastruktur itu hanya dilakukan untuk memenuhi kepentingan kaum kapitalis pemilik modal. Pembangunan infrastruktur tersebut hanya menimbulkan potensi terjadinya penguasaan hasil pembangunan ekonomi oleh kaum kapitalis pemilik modal. Jika memang pemerintahan SBY yang mencanangkan master plan ini tidak mau dituding demikian, maka perlu adanya pembuktian bahwa pembangunan infrastruktur tersebut dapat efektif meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin dan mampu mengurangi jumlah pengangguran secara signifikan. Namun, pembuktian itu sepertinya sulit dilakukan karena memang perencanaan pembangunan infrastuktur yang dilakukan secara besar-besaran ini justru mengindikasikan praktik-praktik neoliberalisme yang mengacuhkan kepentingan masyarakat secara luas.
Selain menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur untuk mendukung pengembangan koridor ekonomi Indonesia dan penguatan konektivitas nasional, master plan yang direncanakan juga terlalu fokus pada upaya melakukan transformasi struktural ke arah industrialisasi. Memang, wacana ini penting untuk diwujudkan sebagai indikasi bahwa Indonesia tengah mengalami tahap lepas landas menuju developed country. Namun, perlu diingat, transformasi struktural menuju industrialisasi bisa dilakukan dengan baik bila pondasi sektor pertanian sudah  kuat. Oleh karena itu, seharusnya transformasi struktural yang dicanangkan dalam master plan ini tidak meninggalkan upaya pengembangan dan penguatan sektor pertanian. Dengan demikian, perlu adanya suatu rumusan kebijakan yang efektif mengenai pengembangan sektor pertanian karena sejauh ini, visi misi yang diutarakan dalam master plan ini tidak banyak bicara mengenai bagaimana peran serta kedudukan sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia.
Seharusnya, sektor pertanian tetap menjadi prioritas utama dalam “Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia” yang direncanakan. Hal ini disebabkan karena sektor pertanian masih menjadi sektor andalan dalam penyerapan tenaga kerja meskipun kontribusinya terhadap GDP semakin menurun dari waktu ke waktu. Namun, tetap saja sektor pertanian harus menjadi prioritas mengingat begitu banyaknya masyarakat miskin yang masih menggantungkan kehidupannya pada sektor ini. Oleh karena itu, agar efektif dalam mengentaskan kemiskinan, seharusnya master plan ini harus lebih mengedepankan upaya-upaya pengembangkan sektor pertanian daripada mengusahakan pembangunan infrasturktur yang belum tentu efektif meningkatkan taraf hidup masyarkat.
Perlu adanya rumusan-rumusan kebijakan yang aplikatif dalam “Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia”.sebagai upaya untuk mengembangkan sektor pertanian. Selain itu, dibutuhkan keberanian dari para eksekutif, legislatif  maupun yudikatif untuk saling bersinergi menghimpun kekuatan demi kemajuan pertanian ke arah yang lebih baik.
Sebagai referensi dalam upaya penyusunan kebijakan pengembangan pertanian yang strategis, pemerintah bisa berkiblat pada pengalaman Thailand di bawah pemerintahan PM Thaksin. Pada masa pemerintahannya, Thaksin berani menerapkan suatu kebijakan yang berpihak kepada masyarakat pinggiran yang miskin. Kebijakan yang dikenal dengan “Pinjaman Desa” ini merupakan suatu kebijakan yang mengalokasikan dana sebesar 1 miliar baht untuk membangun sektor pertanian di banyak desa miskin di Thailand. Pemberian pinjaman yang disertai dengan adanya pendampingan dari pemerintah untuk membantu masyarakat miskin melakukan usaha tani ini sukses meningkatkan kesejahteraan dan menjadikan Thailand sebagai negara dengan pertanian yang maju pesat. Bahkan, peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin tersebut berdampak positif pada peningkatan permintaan output yang dihasilkan industri Thailand sehingga mampu menyelematkannya dari kebangkrutan akibat imbas krisis moneter yang terjadi di tahun 1998. Dengan demikian semakin jelas bahwa pengembangan sektor pertanian dapat menjadi titik tumbuh perekonomian suatu negara dan mendorong perkembangan sektor-sektor ekonomi di suatu negara.
Berkaca pada pengalaman manis Thailand tersebut, maka seharusnya pemerintah tersadar untuk merevisi master plan yang disusun agar lebih memprioritaskan pengembangan sektor pertanian.  Lupakanlah dulu sejenak impian untuk membangun infrastuktur secara membabi buta menggunakan dana investor asing sebelum terbentuk fundamental sektor pertanian yang kuat. Lebih baik, penyusunan master plan ini memusatkan perhatian dan mengalokasikan dana untuk membantu usaha tani rakyat miskin dengan memberikan pendampingan serta jaminan kepastian pasar atas komoditi pertanian yang dihasilkan. Alokasikanlah dana untuk menyediakan lahan luas yang menyerap banyak petani miskin untuk melakukan usaha tani pada areal tersebut dengan melibatkan peran pemerintah dalam penyediakan bibit unggul, pupuk dan peptisida murah serta kemudahan bantuan modal. Selain itu, pendampingan dari para tenaga ahli juga penting untuk meningkatkan efisiensi pertanian. Bila rumusan kebijakan master plan secara fokus mengarah pada pengembangan sektor pertanian, niscaya Indonesia akan mengarah pada pembangunan ekonomi yang lebih baik, tidak semata-mata hanya mencapai pertumbuhan ekonomi yang tidak berkeadilan sosial.

Komentar

Postingan Populer