Economy Opinion (Drama Pemberian Pinjaman 1 Miliar Dollar AS Oleh Indonesia Kepada IMF)

Drama Pemberian Pinjaman 1 Miliar Dollar AS Oleh Indonesia Kepada IMF
Oleh : Illinia Ayudhia Riyadi
                Masih teringat di dalam benak kita mengenai pemberitaan hangat dalam kurun waktu beberapa hari ini yang menginformasikan bahwa Indonesia membeli obligasi IMF senilai 1 miliar dollar AS atau setara dengan 9,4 triliun rupiah. Uang tersebut merupakan devisa Indonesia yang pada akhirnya ditanamkan ke pasar keuangan dalam bentuk surat berharga terbitan IMF. Keputusan ini kontan saja mengundang kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya, pembelian obligasi IMF dilakukan di tengah-tengah kondisi cadangan devisa Indonesia yang terus menurun sebagai dampak penurunan ekspor akibat krisis ekonomi yang melanda Uni Eropa.
                Pembelian obligasi IMF tersebut memang merupakan tindak lanjut dari komitmen Indonesia untuk membantu penanggulangan krisis utang di Eropa saat ini. Komitmen tersebut diutarakan dalam pertemuan negara-negara G 20 yang berlangsung beberapa pekan lalu. Lihatlah, betapa Pemerintah sangat tanggap dan cepat dalam merespons kepentingan asing! Dana yang setara dengan Rp 9,4 triliun  pun digelontorkan untuk membeli obligasi IMF dalam rangka membantu mengatasi keterpurukan krisis yang melanda Uni Eropa. Pemerintah berdalih bahwa tindakan tersebut merupakan suatu bentuk investasi di pasar keuangan karena toh nantinya Indonesia akan memperoleh bunga dari obligasi tersebut.
                Namun, tidakkah pemerintah berkaca diri sebelum mengambil keputusan tersebut? Tindakan membeli obligasi yang diterbitkan IMF merupakan suatu bentuk arogansi di tengah-tengah kondisi masyarakat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan perhitungan statistik BPS, terdapat 30 juta orang atau setara dengan 12 persen dari total masyarakat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Adapun perhitungan Bank Dunia mengungkapkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia mencapai separuh dari jumlah total populasi di Indonesia. Terlepas dari hasil perhitungan lembaga mana yang lebih akurat, namun satu hal pasti adalah masyarakat Indonesia belum terbebas dari jeratan kehidupan miskin yang menyengsarakan. Seharusnya, kenyataan ini dihadapi secara bijak oleh pemerintah. Tidak sepatutnya pemerintah justru berkomitmen membantu krisis ekonomi di Uni Eropa daripada memikirkan nasib rakyatnya yang masih terjerembab dalam jurang kemiskinan. Pemerintah seolah-olah menutup mata atas fenomena kemiskinan yang masih mendera ini.
Keringat Para TKI
                Memang, begitu mudahnya bagi para penguasa untuk menggelontorkan devisa sebesar 1 miliar dolar AS untuk membantu menanggulangi kemiskinan di Uni Eropa. Namun, mereka lupa bahwa para pahlawan yang berkontribusi besar untuk memperoleh devisa masih hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Para TKI merupakan pahlawan devisa yang berjuang merantau di negeri orang bahkan sampai mengorbankan nyawa mereka demi memperoleh penghidupan. Suatu penghidupan layak yang tidak dapat diraihnya di tanah airnya sendiri. Seharusnya, devisa hasil keringat para TKI itu tetap tersimpan di brankas BI untuk kepentingan ekonomi dalam negeri. Kita masih membutuhkan cadangan devisa untuk mengintervensi pasar valas agar nilai rupiah kita tidak terperosok lebih dalam lagi akibat nilai ekspor yang terus menurun dari waktu ke waktu. Haruskah devisa hasil keringat para TKI itu justru digunakan untuk mendukung pendanaan guna penyelematan krisis di Uni Eropa? Ironisnya, tidak pernah ada yang peduli untuk menyelamatkan para TKI yang kerap menghadapi siksaan di luar negeri.
Kepentingan Politik Pencitraan
                Penggelontoran devisa untuk membeli obligasi yang diterbitkan IMF hanyalah suatu kepalsuan untuk menimbulkan pencitraan yang baik di hadapan mata dunia internasional. Memang, secara statistik Indonesia bagaikan suatu mesin penggerak ekonomi Asia yang mampu mencapai pertumbuhan ekonomi positif di tengah hiruk pikuk krisis global yang melanda hampir seluruh negara di dunia. Namun, apalah artinya angka-angka makroekonomi tersebut bila dibalik itu semua masih terdapat kesenjangan ekonomi yang begitu nyata antara si miskin dan si kaya. Indonesia masih jauh dari layak untuk menjadi sebuah negara kreditur yang berkomitmen memberikan pinjaman kepada IMF. Idealnya, suatu negara bisa menjadi kreditur bagi negara yang lain yang membutuhkan bantuan apabila memang negara kreditur tersebut telah memiliki kekuatan dana yang cukup untuk menopang kebutuhan perekonomiannya sendiri.
                Ironisnya lagi, pemberian pinjaman oleh Indonesia kepada IMF melalui pembelian obligasi tersebut dilakukan pada saat pemerintah maupun BI tengah berkeluh kesah akibat turunnya cadangan devisa secara signifikan. Bahkan, pada bulan Juni lalu, Indonesia menerima pinjaman sebesar 5 miliar dollar AS dari Bank Dunia (Kompas, 2012). Pemerintah berdalih bahwa pinjaman tersebut merupakan dana siaga untuk berjaga-jaga dalam rangka mengantisipasi kemungkinan terjadinya dampak buruk terhadap perekonomian Indonesia sebagai akibat krisis ekonomi yang terjadi di Uni Eropa saat ini. Kebijakan pemerintah ini tentu saja menuai tanda tanya besar dari berbagai pihak. Jika memang kepemilikan dana dalam bentuk dollar sangatlah penting untuk mendukung devisa, bahkan pemerintah sampai memaksakan diri untuk meminjam ke Bank Dunia agar memperoleh dana siaga, lantas mengapa kebijakan penggelontoran devisa sebesar 1 miliar dollar AS dalam bentuk obligasi IMF justru dilakukan? Publik semakin bertanya-tanya, apakah ini bagian dari politik pencitraan yang hendak diciptakan pemerintah? Sebegitu pentingnyakah pencitraan Indonesia sebagai negara kreditur harus terbentuk di hadapan mata dunia internasional? Entahlah, dan drama ini pun belumlah berakhir.

Komentar

  1. Mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa ditransformasi menjadi "Economic Analysis"...Agar lebih membumi secara keilmuan dan menjadi "teguran" bagi pemangku kebijakan...Amin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiin Yaa Rabbal 'alamiin. Terimakasih atas komentarnya, Pak. Kalau banyak hal-hal yang masih kurang dalam tulisan maupun blog saya ini secara keseluruhan, mohon dimaklumi karena masih pemula. Insya Allah saya siap jika ada kesempatan untuk mentransformasikan topik ini menjadi suatu analisis ekonomi.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer