Cerpen (Masterpiece)

Cintaku Bersemi di Kelas Mikroekonomi
Oleh : Illinia Ayudhia Riyadi
Hari ini adalah hari pertama aku sebagai mahasiswa semester tiga jurusan Ilmu Ekonomi kembali lagi ke dalam kehidupan kampus setelah selama tiga bulan sebelumnya menikmati masa liburan yang menyenangkan. Ya, rasanya begitu nikmat melakukan berbagai aktivitas menyenangkan selama liburan, jauh dari rutinitas kegiatan perkuliahan yang kadang menjemukan. Namun kini, aku sudah di sini, kembali ke kota Bogor tempat aku menimba ilmu untuk merajut masa depan yang cerah. Jauh dari singgasanaku `di Jakarta tempat aku tinggal dan banyak menghabiskan waktu menyenangkan dari lahir hingga masa SMA. Meskipun demikian, aku tetap menyukai masa muda kehidupan kampusku bersama teman-teman. Canda tawa bersama senantiasa mewarnai hari-hariku, bahkan ketika saatnya makan siang sekalipun.
“Bagas, ayo buruan kita ke kelas! Hari pertama kelas responsi nih, masa kita telat! Ayo cepetan makannya”, ujar Joko, teman sekelasku seraya membayar makan siangnya kepada ibu kantin. “Oiya, kita ada kelas responsi mata kuliah Mikroekonomi jam satu siang ini”, kataku sambil menepuk kening. Memang, semester baru maka jadwal kuliah juga baru. Jadi, aku harus mulai belajar membiasakan diri dengan jadwal kuliah sekarang yang tidak kalah sibuknya dengan semester sebelumnya.
Sang raja siang semakin berani menampakkan sinarnya yang memanaskan hariku. Memang, sudah hampir pukul satu siang saat aku bersama Joko berjalan menyusuri lorong panjang menuju ke ruangan kelas response. Mataku tak henti-hentinya menebarkan pandangan ke seluruh sudut kampus sambil terkadang menghiaskan sesungging senyum khasku yang tidak pernah gagal meruntuhkan hati wanita manapun. Haha, setidaknya itulah menurut pendapatku. Tiba-tiba saja, mataku tertuju pada sosok seorang gadis berambut panjang bergelombang yang berjalan dengan cepat tepat di sisiku. Entah kapan dia berada di sisiku, namun gaya berjalannya yang cepat membuatnya kini mendahuluiku. Sepintas, aku melihat wajahnya. Hmmmm, lumayan cantik dengan kulitnya yang putih. Sepertinya, gadis itu sangat cuek dengan penampilannya. Buktinya, dia hanya mengenakan kaos berkerah dan celana jins dengan warna yang sepadan. Tidak seperti gadis lain di kampus yang berdandan aduhai dengan menggunakan rok agar terlihat bak primadona kampus. Namun, meskipun penampilannya sederhana, gadis yang satu ini sungguh enak dipandang. Tanpa sadar, aku terus tersenyum memandanginya, hingga akhirnya ia hilang dari pandangan mata. “Woi, Gas! Sebelah sini ruangannya!”, sahut Joko sambil menyikut perutku hingga aku tersadar dari kekagumanku akan gadis itu. Ah, rasanya bagai terhipnotis saja saat memandangi wajah gadis itu. “Oh iyaya, santai Jok! Hehe. Ayolah kita duduk depan. Barangkali saja asdos yang mengajar kita nanti cantik bukan kepalang. Kan lumayan untuk memanjakan mata di tengah pelajaran yang begitu suntuk. Hehe”, candaku langsung saja mengalir sambil menepuk-nepuk pundak Joko. “Haha, dasar kamu ini! Kita itu jauh-jauh datang dari kampung untuk belajar dan lulus jadi sarjana ekonomi. Bukan cari jodoh, Gas!” celotehan nasihat Joko terus saja mengalir padaku. “Haha, dari kampung? Sorry aja, Jok. Aku dari Jakarta, ibukota negara Republik Indonesia. Bukan dari kampung kayak kamu. Haha”, ledekku pada Joko. Joko langsung cemberut tapi tentu saja dia tidak marah. Mana mungkin dia sampai hati marah dan kesal padaku, sahabatnya sejak pertama kali masuk ke kampus ini. Bahkan, kami tinggal di satu kost-an yang sama. Jadi, bisa dibayangkan betapa dekatnya kami sebagai sahabat kental.
Canda tawaku bersama Joko terhenti seketika saat aku melihat gadis itu melangkah memasuki ruangan responsiku. Ya, gadis yang tadi aku temui di lorong kampus. Aneh, untuk apa dia memasuki ruangan ini? Dia bukan teman sekelasku. Bukan pula mahasiswa semester tiga jurusan ilmu ekonomi. Aku hapal benar semua teman seangkatanku jurusan ilmu ekonomi dan pastinya dia bukan salah satu dari sekian banyak temanku. Terus aku amati langkahnya yang mantap menuju meja asisten dosen. Hatiku semakin berkecamuk. Jangan-jangan dia yang akan menjadi asisten dosen untuk mata kuliah ini selama satu semester. Ternyata, dugaanku tepat. Seraya memegang map kuning yang berisi absen mahasiswa, dia pun mulai menyapa para mahasiswa. “Selamat siang semuanya”, sapanya kepada kami, para mahasiswa. “Hari ini adalah hari pertama kalian mengikuti responsi mata kuliah Mikroekonomi. Selama satu semester ini, saya yang akan bertanggung jawab dalam kegiatan responsi di kelas ini. Nama saya Ines Paramitha. Saya mahasiswa ilmu ekonomi semester tujuh. Hm, saya rasa itu saja ya perkenalannya. Ada yang ingin ditanyakan?”, ujarnya seraya menuliskan nama dan nomor ponselnya di papan tulis. Panji, teman sekelasku yang terkenal agresif langsung mengacungkan tangan seraya bertanya, “status Kak Ines apa ya? Masih single atau double?”. Mendengar lelucon seperti itu, kontan saja teman-teman sekelas langsung tertawa terbahak-bahak sambil meledek Panji. Aku pun juga tertawa. Hanya saja aku tak kuasa tertawa lebar seperti teman-teman lain. Aku terlalu sibuk mengatur detak jantungku yang berdebar tak karuan saat memandang wajah imut asisten dosen yang satu ini. Oh, ternyata gadis itu adalah seniorku, asisten dosenku. Kak Ines, gadis  bertutur kata lembut dengan tatapan mata memikat yang tiada hentinya membius hatiku. Bahkan, saat ia telah memulai materi bab pertama tentang fungsi produksi, aku tetap tidak bisa berhenti memandanginya dengan penuh kekaguman. Rasanya begitu damai saat mendengar suaranya. Tiada henti aku terus mengamati gerak tubuhnya saat menulis di papan tulis dan menjelaskan materi. Sepanjang kegiatan responsi hingga pukul tiga sore itu, hatiku terus terpikat padanya.
Ah, Ines Paramitha. Nama itu terus bergumam di bibirku. Sambil memandangi dinding kamar kost, aku terus membayangkan wajahnya. Semilir angin yang masuk lewat jendela kamar seperti membawa aroma wangi parfumnya. Dada ini terasa begitu hangat saat kupejamkan mata dan mengingat awal pertemuan kami siang tadi di kelas responsi. Mungkinkah aku jatuh cinta padanya? Pada seorang asisten dosen, mahasiswi ilmu ekonomi semester tujuh yang tak lain adalah seniorku? Tidak, tidak. Ini gila. Mana boleh seorang mahasiswa jatuh hati pada asisten dosennya. Aku pun merasa tak pantas menaruh hati padanya. Sungguh, ini pertama kalinya bagiku menyukai seorang gadis yang usianya lebih tua dariku. Lagi pula, biasanya aku tidak seperti ini. Aku tidak pernah memikirkan seorang gadis sepanjang waktu seperti ini. Tiba-tiba saja aku teringat pada nomor ponsel yang tadi dituliskan Kak Ines di papan tulis. Segera saja aku mencari-cari buku catatan matakuliah Mikroekonomi. Ya, aku mencatat nomor ponselnya di halaman pertama bukuku. Bolehkah aku meneleponnya, atau paling tidak mengirim sms padanya? Pantaskah aku sebagai mahasiswa mengirim sms kepada asisten dosen malam-malam begini? Ah, hatiku bimbang. Sungguh begitu bimbang. Sampai akhirnya aku pun tertidur di kasurku dengan sejuta khayalan tak bertepi tentang Ines Paramitha.
“Wuih, memang Kak Ines itu cantiknya keterlaluan ya. Selain itu, gayanya bicara dan cara mengajarnya itu bikin hati aku meleleh. Wah, sepertinya dia nih yang akan beruntung mendapatkan hatiku. Hahahahaha”, celotehan Panji di kelas langsung saja mewarnai pagi hariku saat baru saja aku melangkahkan kaki masuk ke ruangan untuk mengikuti kuliah pengantar manajemen. Seketika, aku menghela napas panjang setelah mendengar celotehan Panji bersama teman-teman lain. Dugaanku benar, ternyata bukan saja aku yang terpesona dengan Kak Ines, melainkan juga hampir seluruh teman-teman pria di kelasku. Mungkin terkecuali Joko. Dia memang terlalu serius belajar karena cita-cita mulianya ingin membahagiakan orang tuanya di kampung. Mana mungkin dia sempat berpikir tentang wanita. “Joko!”, panggilku dengan suara cukup keras sampai-sampai membuyarkan konsentrasinya dalam membaca buku manajemen super tebal itu. “Aduh, apa sih Gas? Aku lagi asyik baca buku nih!”, gerutunya sambil membenarkan letak kacamatanya yang miring. “Aku ingin curhat nih. Sepertinya, aku jatuh cinta deh sama Kak Ines. Dia itu luar biasa, Jok. Semalaman aku tidak bisa menghapus wajah dia dari pikiranku. Menurut kamu bagaimana, Jok?”, tanyaku kepada Joko secara perlahan supaya teman-teman lain tidak dengar. “Hah, bosan aku! Dari tadi temen-temen lain juga sedang membicarakan Kak Ines. Ah, aku sih tak terlalu peduli. Yang penting, sebagai asisten dosen, Kak Ines bisa menyampaikan materi dengan baik dan membuat mahasiswa paham. Itu sudah lebih dari cukup”, kata Joko sambil terus membaca bukunya dengan serius. “Iya, tapi aku kan tidak bisa mengacuhkan perasaanku ke Kak Ines”, sahutku sambil menghela napas panjang. Joko mulai menatap mataku. “Kamu serius jatuh cinta dengan Kak Ines?”, tanya Joko dengan nada serius. Aku pun mengangguk mantap sambil menghela napas panjang. “Kalau begitu, buktikan dong secara cerdas!”, sahut Joko mantap. Aku terkejut setengah mati mendengar pernyataan Joko. “Caranya?!”, aku terpekik setengah berteriak kepada Joko. “Hmmm, aku lihat perasaan kamu ke Kak Ines sangat besar. Ini merupakan suatu energi potensial yang sayang kalau tidak diubah jadi sebuah semangat pendorong”, jelas Joko panjang lebar. Aku masih saja kurang mengerti maksud terselubung yang ingin disampaikan oleh mahasiswa dengan IP 4 di semester lalu ini. Sambil mengerutkan dahi, aku terus bertanya padanya, “semangat pendorong apa maksudnya? Aku kok ga ngerti”. “Ya semangat pendorong bagi kamu untuk rajin belajar Mikroekonomi. Coba deh kamu belajar serius untuk mata kuliah yang satu ini. Berusahalah jadi mahasiswa menonjol di kelas responsi Kak Ines. Caranya, ya  kamu harus aktif bertanya di kelas dan menguasai materi. Jadi, kamu memahami topik tentang materi Mikroekonomi yang bisa didiskusikan ke Kak Ines sebagai upaya kamu melakukan pendekatan. Aku yakin, kalau kamu berhasil, kamu bisa jadi mahasiswa yang istimewa di hadapannya”, jelas Joko panjang lebar dengan penuh semangat. Aku pun tersenyum lebar mendengar nasihat dan tips dari Joko. Rasanya aku pria paling beruntung sedunia karena memiliki sahabat yang jenius seperti Joko. “Ide brilliant, Jok! Terimakasih banyak! Mulai saat ini, aku akan serius untuk belajar Mikroekonomi demi Kak Ines”, ucapku penuh kesungguhan. “Huuuu, harusnya semua matakuliah harus kamu pelajari sepenuh hati. Jangan hanya Mikroekonomi saja karena Kak Ines”, cibir Joko kepadaku. Aku hanya tersenyum saja sambil berjanji dalam hati untuk belajar serius demi mendapatkan perhatian Kak Ines. Jangankan hanya belajar serius, menyelam ke Laut Atlantik pun akan kusanggupi untuk mendapatkan perhatian Kak Ines!
Seusai kuliah di pagi itu, aku menawarkan diri untuk menemani Joko ke perpustakaan. Tentu saja Joko senang bukan kepalang karena selama ini aku adalah mahasiswa yang paling alergi dengan perpustakaan. Namun, seketika saja sekarang aku berada di perpustakaan yang begitu besar ini. Dengan penuh kesabaran, aku mencari-cari buku Mikroekonomi yang aku perlukan. Hari-hari berikutnya, aktivitasku sehari-hari adalah membaca di perpustakaan bersama Joko. Kami saling berdiskusi dan menganalisis permasalahan Mikroekonomi bersama-sama. Teman-teman lain tentu saja merasa heran dengan perubahan tabiatku yang kini sudah semakin jarang terlihat berada di kantin untuk mengobrol bersama mereka. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa semua ini kulakukan hanya demi Kak Ines seorang.
            Seminggu telah berlalu. Waktu yang kunanti akhirnya pun tiba. Hari ini adalah pertemuan kedua  responsi Mikroekonomi bersama Kak Ines. “Selamat siang. Pertemuan hari ini kita akan membahas materi tentang pasar persaingan sempurna dan monopoli. Sebelum membahas dan memahami perbedaan di antara keduanya, maka kita perlu memahami asumsi-asumsi yang berlaku pada kedua struktur pasar tersebut. Pada bagian selanjutnya, kita juga akan membahas tentang bentuk kurva supply dan demand pada masing-masing struktur pasar tersebut”, jelas Kak Ines dengan tutur katanya yang lembut dan gerak tubuhnya yang selalu membuat hatiku berdebar-debar. Penjelasan demi penjelasan yang dipaparkan oleh Kak Ines selalu aku simak dengan sepenuh hati. Tanganku tiada hentinya menari di atas buku untuk mencatat setiap kata yang keluar dari bibirnya yang merekah itu. Saat Kak Ines memberikan pengajaran di depan kelas, bukan hanya otakku saja yang bekerja untuk mencerna penjelasannya, tetapi hatiku pun tiada hentinya bekerja untuk menerjemahkan rasa cintaku yang terus bergelora kepadanya.
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Ah, rasanya baru lima menit aku memandang wajah cantiknya dan merekam suaranya dalam pikiranku. “Baiklah. Sekian dulu pertemuan kita hari ini. Jangan lupa untuk menjawab soal-soal yang ada di bab akhir buku ini. Tugasnya dikumpulkan pada pertemuan selanjutnya minggu depan”, kata Kak Ines sambil menunjukkan buku Mikroekonomi yang demikian tebal kepada para mahasiswa. “Siap, Kak!”, jawab teman-teman sekelas secara serempak. Mereka pun mulai berhamburan keluar kelas. Joko, sahabatku, pun telah terlebih dahulu meninggalkan kelas karena ada rapat organisasi yang harus segera ia ikuti. Kelas pun mulai sepi. Aku masih berada di dalam kelas sambil menatap lembut ke arah Kak Ines yang masih sibuk membereskan buku-buku dan memasukkannya ke dalam tas ranselnya. Meski dengan hati yang berdebar tak menentu dan keringat digin yang mulai membasahi sekujur tubuhku, aku terus memberanikan diri untuk melangkah mendekati meja Kak Ines. “Kak Ines”, panggilku dengan suara gemetar . “ Ya. Ada apa?”, sahut Kak Ines masih dengan suaranya yang lembut. Oh, suara lembutnya terdengar begitu dekat sepertinya mampu mengguncang duniaku. Aku pun berusaha setengah mati untuk bersikap setenang mungkin. Mati-matian aku menyembunyikan kegalauan yang melanda hatiku. “Ada hal yang ingin saya tanyakan mengenai materi Mikroekonomi tadi. Maaf, tadi saya agak ragu menanyakannya saat responsi berlangsung” ujarku seraya menunjukkan buku catatan Mikroekonomi milikku. Ya, sekalian pamer agar Kak Ines tahu betapa rapinya catatanku untuk mata kuliah yang satu ini. Kalau mata kuliah lain, aku mana pernah punya buku catatan serapi ini! “Begini, Kak. Saya ingin bertanya tentang materi pasar persaingan sempurna. Mengapa kurva permintaan yang dihadapi oleh produsen di pasar persaingan sempurna berbentuk horizontal?”, tanyaku seraya menunjukkan gambar kurva tersebut di buku catatanku. “Oh, itu karena para produsen yang berada di dalam pasar persaingan sempurna bertindak sebagai price taker. Oleh karena itu, berapapun jumlah barang yang diminta maka harga yang terbentuk di pasar tidak akan berubah. Ini biasa disebut dengan sifat elastis sempurna”, jelas Kak Ines. Selama mendengar penjelasan Kak Ines, aku mengangguk-angguk seolah sedang menyimak penjelasannya secara serius. Padahal, aku sedang sibuk mengamati dan merekam indah wajahnya dalam memoriku untuk menghiasi mimpi di tidurku nanti malam. “Jadi, apakah penjelasan saya tadi sudah dapat dipahami?”, tanya Kak Ines secara tiba-tiba hingga membuyarkan lamunanku tentang dirinya. “Oh, iya Kak. Terimakasih, sekarang saya sudah bisa memahaminya dengan baik”, jawabku dengan sedikit tergagap karena cukup terkejut setelah sadar dari lamunanku. “Mmmm.. Kak Ines. Jika sewaktu-waktu saya mengalami kesulitan saat belajar Mikroekonomi, bolehkah saya menghubungi Kakak untuk meminta bantuan?”, tanyaku dengan nada ragu diiringi dengan degup jantung yang begitu kencang. Seketika Kak Ines tersenyum dengan manis sembari berkata, “tentu saja boleh. Kamu bisa menghubungi saya jika memang ada hal yang ingin ditanyakan terkait dengan materi perkuliahan. Kamu sudah tau nomor ponsel saya kan?”. Senyum di wajahku pun mengembang sambil mengangguk dengan mantap. Ah, wanita yang kucintai ini memang baik hati. Di dalam hati, aku berjanji akan belajar Mikroekonomi lebih keras agar aku semakin menguasai materi. Dengan begitu, aku akan lebih mengetahui bagian mana dari materi perkuliahan yang masih belum aku pahami sehingga bisa aku tanyakan kepada Kak Ines.
Dari hari ke hari, rasa cintaku pada Kak Ines semakin menggebu. Bayangan wajahnya tak pernah lepas dari pikiranku. Apalagi, jika tanpa sengaja bertemu dengannya di luar kelas, entah itu di perpustakaan atau kantin kampus. Debaran jantung yang terasa kian melebur dengan rasa bahagia ketika memandang wajah dan menikmati senyumnya. Saat kami berpapasan, dia pasti melempar senyum padaku karena dia mengenali aku sebagai salah satu dari banyak mahasiswanya. Ah, seandainya saja dia juga tahu isi hatiku yang sebenarnya, tentunya aku akan menjadi laki-laki paling bahagia di alam semesta!
Pada suatu malam, saat sedang membaca buku Mikroekonomi, tiba-tiba saja aku merasa rindu dengan Kak Ines. Aku ingin sekali mendengar suaranya. Hati kecilku seolah mendorongku untuk berani meneleponnya. Sekilas, kulirik jam di dinding kamar kost-ku. Masih pukul delapan, pasti dia belum tidur. Segera kuraih ponselku untuk meneleponnya. Oh, tiba-tiba sekujur tubuhku terasa dingin. Peluh membasahi keningku tatkala menunggu jawaban darinya di seberang sana. Beberapa saat kemudian, terdengar suara lembutnya yang kurindukan selalu di tiap detik waktuku, “halo, selamat malam”. “Halo. Selamat malam, Kak Ines. Saya Bagas, salah satu mahasiswa Kakak”, sapaku dengan sopan. “Oh, Bagas. Iya, ada apa?”, tanyanya dengan nada santai. “Maaf mengganggu, Kak. Kalau boleh, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan tentang materi kuliah Mikroekonomi. Ini saya sedang belajar dan ternyata ada banyak hal yang begitu membingungkan bagi saya”, ujarku seraya berusaha sekuat tenaga mengatur suaraku agar tidak terdengar gemetaran menahan rasa tegang. “Tentu saja boleh. Saya senang sekali jika bisa membantumu mengatasi kebingungan dalam belajar”, jawabnya dengan lembut hingga sukses membius hatiku menjadi semakin terlena. Percakapan dan diskusi pun mengalir dengan lancar. Lambat laun, aku bisa mengatasi debaran yang bergelora di dada dan mulai menikmati tiap menit percakapan kami lewat ponsel. Tak terasa hampir satu setengah jam telah berlalu. “Wah, sudah malam rupanya. Waktu tidak terasa terus berjalan begitu cepat, ya Kak. Kalau begitu saya pamit mohon undur diri dulu, Kak. Lain kali saya boleh menghubungi Kak Ines lagi kan?”, tanyaku dengan mantap. Sejenak, terdengar derai tawa dari Kak Ines. Lalu ia berkata, “tentu saja boleh. Saya senang berdiskusi dengan kamu. Kamu harus terus meningkatkan semangat belajarmu, ya”. Oh, Kak Ines, jangankan hanya belajar, membelah lautan pun aku siap asalkan terus bisa berkomunikasi denganmu seperti ini.
Waktu pun terus berjalan. Dari hari ke hari, aku semakin mencintai Kak Ines dengan segala kesempurnaan yang melekat padanya. Aku pun semakin giat belajar demi usahaku agar semakin dekat dengannya. Komunikasi kami lewat ponsel berjalan dengan begitu lancar. Pada awalnya, aku hanya menghubunginya seminggu sekali. Lama kelamaan dua hari sekali, hingga akhirnya seiring dengan berjalannya waktu, aku berani menghubunginya tiap malam. Meneleponnya tiap malam sudah menjadi ritual yang wajib kulakukan sebelum terbang ke alam mimpi. Rekaman suaranya dalam memoriku menjadi renungan di tiap tidurku yang membuatku semakin mengenal dan memahaminya. Obrolanku dengannya pun tak lagi sebatas materi perkuliahan saja, namun semakin meluas mengenai kegemarannya, hobinya, dan segala hal yang mengungkapkan kepribadiannya. Sejauh ini, Kak Ines bersikap terbuka dan bersahabat. Itulah yang membuatku semakin yakin bahwa suatu hari hubunganku dengannya akan berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Lebih dari sekedar hubungan antara mahasiswa dengan asisten dosen.
Tak terasa periode ujian sudah semakin menjelang. Tentu saja ini merupakan momen yang begitu berharga bagiku. Aku harus bisa membuktikan keseriusan cintaku pada Kak Ines dengan cara memperoleh nilai terbaik untuk ujian mata kuliah Mikroekonomi. Aku sudah bertekad untuk berjuang hingga titik darah penghabisan agar dapat memperoleh nilai setingg-tingginya. Aku harus berjuang memperoleh nilai huruf mutu A sebagai bukti tanda cintaku pada Kak Ines. “Haha.. Bagas, Bagas. Kamu ini memang unik, ya. Pembuktian cinta kamu lakukan dengan cara seperti itu. Biasanya kan laki-laki mempersembahkan cincin atau bunga sebagai bukti cinta terhadap kekasihnya”, demikian tanggapan Joko ketika aku menceritakan tekadku yang bulat untuk memperoleh nilai A pada mata kuliah yang diajarkan Kak Ines. “Cintaku ini pada Kak Ines adalah bentuk cinta yang istimewa, Jok! Bukan cinta murahan yang biasa kamu lihat di sinetron. Makanya, bukti cintaku ini juga aku wujudkan dengan cara yang istimewa,” ujarku membalas ledekan Joko terhadapku. “ Iya, iya. Pokoknya, sekarang ini yang terpenting, kita harus fokus pada ujian, Gas. Tinggal menghitung hari ujian semester segera tiba”, kata Joko. “Iya, kamu benar, Jok! Kalau aku berhasil memperoleh nilai A untuk mata kuliah Mikroekonomi, maka aku akan segera mengutarakan cintaku pada Kak Ines. Aku tidak akan memendam rasa itu lebih lama lagi”, ujarku dengan penuh kemantapan sampai-sampai Joko terheran-heran mendengar tekadku yang berani itu. Ya, aku tidak akan bersembunyi dan membiarkan cinta ini merekah tanpa diketahui Kak Ines.
Dua minggu masa ujian berjalan begitu lambat. Selama itu, aku tenggelam dalam kesibukanku untuk belajar. Kali ini, aku tidak hanya fokus pada Mikroekonomi saja, tetapi juga mata kuliah lainnya. Tentu saja aku harus belajar ekstra keras agar bisa lulus dari semua mata kuliah di semester ini. Karena kesibukanku itu, maka selama masa ujian komunikasiku dengan Kak Ines terputus sama sekali. Aku pun menyadari bahwa Kak Ines tak kalah sibuknya dariku. Selain sebagai asisten dosen, dia juga masih menyandang status sebagai mahasiswi semester tujuh yang masih dipusingkan dengan ujian. Oleh karena itu, selama periode ujian ini aku harus berjuang menahan rasa rinduku yang tiada terbendung pada asisten dosen yang kucintai tersebut.
            “Gas, Bagas! Nilai mata kuliah Mikroekonomi dan mata kuliah lainnya sudah terpajang dengan manis di papan pengumuman. Lihat yuk!”, seru Joko dengan suara keras hingga mengejutkan aku yang sedang asyik mengobrol dengan teman-teman di kantin. “Ah masa? Cepat sekali, ya. Padahal periode ujian baru selesai dua hari lalu”, celotehku seraya melangkah mengikuti Joko yang sudah berjalan lebih dulu menuju ke papan pengumuman. Tiba-tiba saja aku merasa tegang memikirkan nasib nilai Mikroekonomi milikku. Bagaimana bila ternyata tidak sesuai harapan? Seketika kucoba membuang jauh-jauh pikiran buruk itu. “Bagas, kamu dapat nilai A untuk mata kuliah Mikroekonomi! Hebat kamu, Gas!”, seru Joko kegirangan. “Hore! Akhirnya sebentar lagi aku akan resmi menjadi pacar Kak Ines”, pekikku kegirangan. “Hei, kamu ini harusnya bersyukur! Kamu malah berkhayal yang aneh-aneh”, seloroh Joko melihat kegiranganku ini. Aku bahagia, bahkan sangat bahagia. Rasanya perjuangan selama ini tidak sia-sia. Semua ini membuktikan begitu besarnya rasa cintaku pada Kak Ines hingga aku rela mengubah sikapku yang malas menjadi rajin dalam belajar meskipun hanya untuk mata kuliah Mikroekonomi saja. Tiba-tiba, aku teringat dengan nilai mata kuliahku lainnya yang terpampang di papan sebelahnya. Akupun memicingkan mata untuk melihat nilai-nilaiku tersebut. Benar saja, sesuai dengan dugaanku! Aku hanya mendapat nilai C di mata kuliah lainnya!
            Malam ini, udara terasa menusuk tulangku. Hujan tiada hentinya mengguyur di luar sana. Kuamati titik-titik hujan yang masuk ke kamar kost-an ku lewat jendela. Seandainya hujan di luar sana dapat mengikis kegalauanku malam ini, mungkin beban di hatiku akan terasa lebih ringan. Besok, aku berencana ingin menemui Kak Ines di kampus untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Aku ingin dia tahu semua isi hatiku. Aku pun telah menyiapkan hadiah untuknya sebagai ungkapan cintaku padanya. Sebuah kotak musik klasik berbentuk hati yang begitu cantik dengan warna merah merona. Ah, rasanya tak sabar menunggu pagi datang menjelang!
            Keesokan harinya, pagi yang cerah itu akhirnya dating juga. Dengan penuh semangat, kulangkahkan kaki dengan pasti seraya membawa sebuah bingkisan yang dari kemarin telah kusiapkan untuk sang pujaan hati. Tiba-tiba, dari kejauhan kulihat Kak Ines yang sedang asyik membaca buku di taman kampus. Sepertinya ini kesempatan yang tepat untuk berbicara dengannya, gumamku dalam hati. Perlahan, aku pun menghampirinya. “Selamat pagi”, sapaku dengan penuh kehangatan. Kak Ines pun menoleh seraya membalas sapaanku, ‘’selamat pagi. Hai, Bagas! Oiya, bagaimana nilai Mikroekonomi kamu?”. Hatiku langsung berbunga-bunga. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa dia akan begitu perhatian dengan prestasiku. “Berkat Kakak, saya bisa mendapatkan nilai A. Terimakasih, Kak”, jawabku dengan penuh senyuman. “Ah, kamu jangan terlalu memuji. Kesuksesanmu itu adalah buah manis dari belajarmu yang serius selama ini”, tukas Kak Ines. “Sungguh, Kak. Semua karena Kak Ines. Kalau bukan karena Kakak, saya pun tidak akan memiliki kekuatan yang begitu besar untuk belajar keras selama ini”, kataku secara perlahan dengan penuh kesungguhan. “Saya mencintai Kakak dengan segenap jiwa saya. Saya….”, belum selesai ucapanku, tiba-tiba saja Kak Ines segera berujar, “saya tahu. Selama ini saya pura-pura tidak menangkap berbagai bentuk perhatianmu terhadap saya. Saya bukanlah orang yang terlalu bodoh untuk menerjemahkan berbagai tanda yang kamu tunjukkan pada saya”. Aku pun terperangah mendengar ucapannya. Ternyata, selama ini dia sudah tahu perasaanku yang begitu tulus kepadanya. “Maaf, tapi saya tidak bisa membalas cintamu”, kata-kata yang keluar dari bibir Kak Ines itu seketika menghancurkan hatiku. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Hanya rasa perih yang kurasakan di dada tatkala kak Ines mengucapkan kata-kata itu dengan begitu mantap. “Kenapa? Apa sudah ada orang lain di hati Kakak?”, tanyaku seraya menggigit bibirku kuat-kuat untuk menahan rasa perih di hati yang seketika menyeruak. “Bukan seperti yang kamu pikirkan. Saya tidak pernah mengerti apa itu cinta. Saya pun masih belum bisa menerjemahkan bagaimana rasa cintamu pada saya. Saat ini, saya masih ingin menikmati kebebasan saya layaknya seekor burung yang dapat terbang kemanapun dan hinggap dimanapun tempat yang diinginkan. Saya masih belum siap untuk membangun sebuah komitmen dengan siapapun”, jawab Kak Ines dengan penuh kesungguhan. “Kak, cinta saya tidak akan membatasi Kakak dalam melakukan hal apapun. Jadi, Kakak tidak perlu khawatir kalau cinta saya akan menghambat segala cita-cita Kakak”, ujarku dengan lembut. “Maaf, Gas. Saya belum yakin dengan diri saya sendiri. Saya tidak mau membuat kamu terluka. Walaupun begitu, saya tetap menghargai perasaan kamu dan berterimakasih atas cintamu pada saya”, jawab Kak Ines dengan lirih. “Baiklah, saya tidak akan memaksa. Mungkin memang saatnya belum tepat. Namun, bukan berarti saya menyerah dan berhenti mencintai Kakak. Saya akan terus menunggu Kakak hingga bisa menerima dan membalas cinta saya. Selama itu pula saya akan membenahi diri untuk menjadi seseorang yang pantas untuk bersanding dengan kakak kelak. Saya pastikan itu yang akan saya lakukan”, kataku dengan nada penuh keyakinan. “Kamu tidak perlu menunggu saya. Kamu bebas memilih perempuan lain untuk kamu cintai. Kamu…”, belum selesai Kak Ines bicara, aku segera berkata, “maaf Kak! Saya akan tetap mencintai Kakak. Tak peduli langit akan runtuh sekalipun, rasa saya itu tidak akan berkurang sedikit pun. Biarkanlah saya menjadikan Kakak sebagai inspirasi dalam hidup saya. Sumber kekuatan bagi saya di kala kelelahan menghampiri saya. Izinkanlah saya untuk menjadikan Kakak sebagai tujuan dan alasan untuk memperoleh kesuksesan. Saya tahu itu tidak mudah. Namun, saya siap untuk mencintai Kakak dengan cara seperti itu. Saya tahu, di waktu mendatang pasti akan banyak laki-laki yang ingin memperoleh cinta Kakak. Meskipun begitu, saya siap untuk bersaing dengan mereka dan membuktikan bahwa sayalah yang terbaik untuk menjadi penjaga hatimu, Kak”, ujarku dengan penuh kesungguhan dan keyakinan. Aku melihat matanya menjadi berkaca-kaca seusai mendengar ucapanku tadi. Kuserahkan bingkisan itu di atas pangkuannya seraya berkata, “mohon terimalah bingkisan ini. Tolong Kakak simpan hingga akhirnya saya akan datang untuk bersanding di sisi Kakak selamanya”. Kulihat Kak Ines tertegun sejenak. “terimakasih. Kamu memang teman yang baik. Tetaplah belajar dengan giat untuk mengejar cita-citamu”, ujar Kak Ines sambil melangkah pergi. Aku terus memandang dirinya yang semakin jauh melangkah pergi. Di dalam hati aku bertekad untuk menjadi seseorang yang lebih baik agar kelak dapat menjemput cintaku yang bersemi di kelas Mikroekonomi. Kutatap sang mentari yang kian memancarkan sinarnya. Ya, masih ada hari esok menjelang untuk mengejar cita dan cintaku di masa mendatang.

Komentar

Postingan Populer