Drama Divestasi Bank Mutiara: Tahun 2014 Batas Akhir Periode Penjualan

Drama Divestasi Bank Mutiara: Tahun 2014 Batas Akhir Periode Penjualan  


Oleh: Illinia Ayudhia Riyadi

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengambil alih Bank Century pada tahun 2008 berdasarkan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan  (KSSK) Nomor 04/KSSK.03/2008 pada 21 November 2008 sebagai bagian dari langkah penyelamatan kesehatan ekonomi nasional. Penjualan Bank Mutiara mulai dilakukan tahun 2011, tiga tahun setelah diambil alih oleh LPS. Pada tahun 2011 hingga 2013, penjualan Bank Mutiara seharga minimal penyertaan modal sementara oleh LPS. Hal ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS.  Namun, ternyata selama kurun waktu tersebut, Bank Mutiara belum dapat dijual dengan nilai optimal minimal sebesar penempatan modal sementara LPS.

Di awal tahun 2014 ini, LPS kembali mengumumkan divestasi PT Bank Mutiara Tbk. Penjualan seluruh saham akan dilakukan melalui penjualan strategis kepada calon investor yang memenuhi syarat. Nilai divestasi Bank Mutiara saat ini masih dalam proses penghitungan. Berbeda dengan penjualan tahun 2011-2013, untuk harga penjualan tahun ini tidak ada lagi keharusan minimal sebesar penempatan modal sementara LPS. Padahal, hingga saat ini, biaya penyelamatan berupa penyertaan modal sementara (PMS) LPS kepada Bank Mutiara hingga saat ini Rp 8,01 triliun.

Bank yang diselamatkan dengan menggelontorkan sedemikian banyak PMS pada akhirnya akan dijual dengan harga di bawah PMS nya.  Bahkan, untuk melancarkan penjualan Bank Mutiara yang telah memasuki batas tahun terakhir ini, LPS sudah mengeluarkan Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan (PLPS) No. 1/PLPS/2014 yang dirilis 6 Februari 2014 tentang Tata Cara Penjualan Saham Bank Gagal yang Diselamatkan. Dalam aturan itu, disebutkan bahwa pembayaran atas transaksi penjualan saham bank yang diselamatkan dapat dilakukan oleh investor secara bertahap atau sekaligus. Beleid anyar ini seharusnya dapat  memberikan angin segar bagi calon investor maupun bagi LPS untuk melancarkan penjualan Bank Mutiara yang telah memasuki batas tahun terakhir. Ironisnya, kemudahan-kemudahan tersebut juga tidak signifikan untuk mengubah preferensi investor yang tertarik untuk melakukan penawaran terhadap bank ini.

 Sebenarnya, LPS sangat berharap agar bank-bank besar nasional tertarik untuk membeli eks Bank Century ini. Dengan demikian, ada pendapatan masa depan yang bisa diperoleh oleh bank BUMN. Para ekonom pun juga menilai bahwa Bank Mutiara ini lebih cocok dijual ke bank BUMN untuk mencapai hasil penjualan maksimum daripada melepas ke investor asing. Hal penting yang harus diperhatikan untuk menghasilkan return maksimum atas penjualan Bank Mutiara adalah metode penjualannya. Jika pembelian dilakukan oleh Bank BUMN, maka pembayaran akan lebih fleksibel. Bank BUMN tidak perlu mengeluarkan uang, cukup menggunakan obligasi rekapitalisasi pemerintah yang selanjutnya akan dipegang oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dengan metode tersebut, tidak diperlukan lagi skema penjualan dengan pembayaran bertahap. Meskipun demikian, sejumlah bank nasional besar seperti, Mandiri, BRI dan BNI masih mempertimbangkan berbagai faktor penting sebelum memutuskan untuk membeli Bank Mutiara ini.

Memang terdapat sejumlah faktor penting yang harus dipertimbangkan oleh para calon investor sebelum memutuskan untuk membeli Bank Mutiara, baik faktor politis maupun non politis. Adapun faktor politisnya terkait dengan dugaan mark up terhadap besarnya bail out yang telah digelontorkan untuk menyelamatkan Bank Mutiara ini. Proses yang ditempuh hingga akhirnya Bank Mutiara diputuskan sebagai bank gagal berdampak sistemik pun sarat dengan begitu banyak kepentingan politik. Hal ini menyiratkan ketiadaan kepastian hukum sehingga para calon investor cenderung berhati-hati sebelum memutuskan untuk membeli Bank Mutiara. Salah satu cara yang perlu ditempuh pemerintah (termasuk juga LPS) adalah dengan berani bersikap transparan terhadap penggunaan bail-out PMS yang selama ini telah digelontorkan. Tercatat pada akhir tahun 2013 yang lalu, Bank Mutiara mendapatkan suntikan dana dari LPS sebesar Rp 1,249 triliun dalam rangka meningkatkan rasio kecukupan modalnya agar berada pada kisaran 11 higga 14 persen. Rasio kecukupan modal Bank Mutiara memang sempat mengalami penurunan signifikan akibat adanya kredit macet sebesar Rp 840 miliar. Selanjutnya, porsi terbesar PMS diberikan saat bail-out di awal langkah penyelamatan Bank Century dilakukan. Besarnya bail-out yang awalnya direncanakan hanya sebesar Rp 632 miliar kemudian menggelembung menjadi Rp 6,7 triliun sarat dengan kepentingan politis. Hingga saat ini, belum jelas bagaimana alokasi penggunaan dana sebesar itu untuk menyelamatkan Bank Century. Sehubungan dengan itu, maka LPS harus bersikap berani menguraikan alokasi penggunaan dana bail-out tersebut. Setidaknya, para calon investor memperoleh informasi tentang aliran dana tersebut untuk menetralisir isu politis yang selama ini bergulir.

Selain faktor politis, ada juga faktor non-politis yang harus dipertimbangkan calon investor sebelum memutuskan untuk membeli Bank Mutiara. Adapun faktor non-politis tersebut meliputi perkembangan kinerja Bank Mutiara selama ini. Perkembangan beberapa indikator kinerja Bank Mutiara dapat disimak pada tabel berikut ini:

            Tabel. Perkembangan Kinerja Bank Mutiara (dalam Persen)
Periode
Indikator Kinerja Perbankan
NPL
(Non Performing Loan)
ROA
(Retun on Asset)
ROE
(Return on Equity)
NIM
(Net Interest Margin)
BOPO
(Biaya Operasional/Pendapatan Operasional)
LDR
(Loan to Deposit Ratio)
Desember 2009
37
3
402
N/A
92
81
Desember 2010
24
2
41
1
81
70
Desember 2011
6
2
34
1
87
83
Desember 2012
3
1
15
3
92
82
September 2013
11,47
-5,64
-82,84
1,84
150,52
92,88
Sumber: Bank Indonesia, 2013

Tabel di atas menunjukkan bahwa sejak tahun 2009 hingga 2013, kinerja Bank Mutiara tidak mengalami perbaikan, bahkan cenderung mengalami kemunduran. Nilai ROA dan ROE nya menunjukkan angka negative yang mengindikasikan kondisi profitabilitasnya rendah. Selain itu, rasio kredit macetnya pun begitu tinggi, yakni sebesar 11,47 persen. Angka ini jauh di atas rata-rata NPL bank umum di periode yang sama, yakni sebesar 1,9 persen. Indikator BOPO nya begitu tinggi, menunjukkan efisiensi kinerja Bank Mutiara yang begitu rendah. Adapun nilai LDR nya berada di atas  rata-rata LDR bank umum pada periode yang sama, yaitu sebesar 89,5 persen. Mengacu pada indikator kinerja sebagaimana yang tampak pada table di atas, maka dipastikan para calon investor cenderung akan berpikir ulang sebelum membeli Bank Mutiara ini. Tingkat profitabilitas dan efisiensi yang begitu rendah ditambah lagi dengan rasio kredit macet yang tinggi menjadikan Bank Mutiara ini semakin kurang diminati oleh para investor. Kinerja manajemen Bank Mutiara ini pun semakin dipertanyakan karena selama kurun waktu 5 tahun setelah diselamatkan oleh LPS, nyatanya bank ini pun tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan secara signifikan. Bahkan, justru kinerja Bank Mutiara ini mengalami kemunduran.

Berdasarkan uraian di atas, diperkirakan proses penjualan Bank Mutiara ini akan memerlukan waktu cukup lama. Berbagai faktor politis maupun non politis menjadi pertimbangan para calon investor sebelum membeli bank eks Century ini. Perlu langkah yang berani dari LPS untuk menetralisir isu mark-up dana bail out yang merebak melalui pemberian informasi yang transparan tentang alokasi penggunaan dana talangan yang selama ini telah digelontorkan oleh LPS. Lebih lanjut, perbaikan kinerja Bank Mutiara diperlukan untuk meningkatkan profitabilitas dan tingkat kesehatan di masa mendatang.

***





Komentar

Postingan Populer